Usia
boleh dikata sudah tua, namun semangat tetaplah muda. Begitulah kiranya kata
yang layak disandangkan kepada seorang wanita yang lebih dari 35 tahun
mengabdikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Basilah Ekowati adalah namanya.
Nama yang selalu terukir dalam hati murid-murid yang pernah diasuhnya.
Tatapan
keibuan yang selalu terpancar dalam rona wajahnya seakan tidak akan pernah
terlupakan dalam benak orang-orang yang pernah menjadi anak didiknya atau bagi
siapapun yang pernah berjumpa denganya. Bagaimana tidak, hampir semua orang
yang ada di desa Barang tempat di mana dia mengabdikan ilmunya, tak satupun
yang tidak mengenal sosok wanita penerus perjuangan kartini itu dengan segala
sepak terjangnya. “Seorang ibu desa”. Begitulah sebagian besar masyarakat
mengenalnya.
Ibarat
seorang ibu yang tak pernah melupakan anaknya yang pernah dilahirkan melalui
rahimnya. Begitulah sifat mulia yang
selalu dikenang dari sosok guru yang hingga kini, di usia senjanya yang telah
mencapai 59 tahun dia masih mengabdikan hidupnya sebagai guru di Taman
Kanak-Kanak Dharma Wanita yang terletak di Desa Barang, Kecamatan Jumo, yang
berada di wilayah pelosok kabupaten Temanggung Jawa Tengah.
Menyelami
kisah kehidupan yang dijalaninya, seribu pelajaran yang saya dapatkan. Betapa
tidak, pelajaran hidup yang ia torehkan mengajarkan kepadaku tentang arti
keihklasan. Baginya, pekerjaan yang dia jalani merupakan sebuah pengabdian.
Bukan semata-mata untuk mencari penghasilan. “Menjadi guru TK bukanlah perkara
yang mudah mas. Tekad yang kuat, kesabaran yang tinggi, serta niat yang tulus
menjadi modal utama”. Begitulah cuplikan kata yang mengalir seiring dengan suara
khasnya yang saya kenali sejak 16 tahun silam saat penulis menjadi salah satu
anak didiknya. Seakan tidak ada yang berubah.
Usia
yang semakin bertambah tak pernah mengurungkan pengabdianya meskipun tak kurang
dari 1 kilometer harus ditempuhnya setiap pagi dengan berjalan kaki. Tak kenal
panas maupun hujan, ia tetap melakukanya. Baginya, berjumpa dengan murid-murid
yang di asuhnya adalah obat keletihanya. Mengingat kesuksesan-kesuksesan mantan
murid yang dahulu diasuhnya adalah semangat yang menguatkan langkah kakinya.
Sehingga, tak ada lagi alasan bagi dirinya
untuk merasakan jenuh atas rutinitas yang dia lakukan. Baik ketika dia
mengabdikan hidupnya sebagai guru di sekolah, maupun tanggung jawabnya sebagai
seorang ibu dengan tiga anak dan suaminya di rumah.
Menjadi
guru asuh anak-anak yang masih di bawah 7 tahun memang tantangan tersendiri
baginya. Betapa tidak, setiap hari dia harus berhadapan dengan tingkah laku
anak-anak yang bermacam-macam karakteristiknya. Kepada anak yang super nakal,
dia dituntut untuk bersabar menghadapinya, kepada anak yang sering rewel, dia
dituntut untuk pelan-pelan menghadapinya. Bahkan tak jarang dia harus menceboki
anak asuhnya ketika buang air besar, bahunya yang renta juga kerap menggendong
anak-anak didiknya yang rewel. Begitulah dalam sehari-hari dia memperlakukan sekitar
30 anak seperti anaknya sendiri.
Besarnya
pengorbanan yang dia lakukan terkadang memang tak sebanding dengan upah yang
diterimanya. Upah menjadi guru TK ternyata belum mampu untuk mencukupi biaya
hidup ketiga anaknya yang dua di antaranya masih melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi dengan hanya mengandalkan pekerjaan suaminya sebagai seorang
petani. Sehingga tak jarang dia harus meluangkan sisa waktu setelah mengajar
untuk membantu suaminya di sawah.
Begitulah
perjalanan menjadi seorang guru TK.
Tanpa pamrih berjuang demi bangsa dalam membantu mewujudkan generasi
melalui pendidikan yang dia ajarkan kepada murid-muridnya. Perjuangan yang
mulia, tanpa tanda jasa. Pengabdian adalah alasan utamanya.