Politik memiliki pengertian yang
luas dan beragam. Dalam terminologi bahasa Arab, secara umum dipahami bahwa
kata siyasah (politik) berasal dari kata “as saus” yang berarti “ar riasah”
(kepengurusan). Jika dikatakan “sasa al-amra” berarti “qama bihi” (menangani
urusan). Dengan demikian syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini
adalah jika ia melakukan sesuatu yang membawa kemashlahatan bagi masyarakat
atau sekumpulan orang. Sebagian masyarakat di dunia barat memahami politik
adalah aktifitas yang berkaitan dengan urusan kenegaraan, pemerintahan dan
kekuasaan atau kekuatan saja. Mereka mendefinisikan politik sebagai seni
mengatur negara, hubungan antar negara, juga hak-hak warga negara dalam
mengatur urusan kenegaraan. Ada juga yang mengaitkan politik sebagai aktifitas
kelompok dalam masyarakat, misalnya partai politik.
Hasan Al Banna menyebutkan politik
adalah upaya memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal ummat.
Yang dimaksud dengan sisi internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan,
menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan
pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan
kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan”. Sedangkan sisi
eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa,
menghantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di
tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi
pihak lain dalam urusan-urusannya”. Berdasarkan persepsi semacam inilah
Al-Banna kemudian menyatakan, “sesungguhnya seorang muslim belum sempurna
keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh
ke depan, dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya. Keislaman
seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan
bangsa.”
Adalah aneh bila kemudian kita
menemukan sekelompok masyarakat yang mengatakan bahwa Islam adalah kawasan yang
steril dari muatan politis. Islam hanyalah agama ritual dan peribatan kepada
Allah lewat shalat, puasa, haji dan lain-lain. Sebagian masyarakat itu
beranggapan bahwa Islam sama sekali tidak mengatur wilayah politik apalagi
kenegaraan. Agama bagi mereka hanyalah urusan masing-masing individu warga
negara untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhannya. Bagaimana mungkin Islam
mengatur ummatnya agar memotong kuku, bersiwak, merapikan rambut dan pakaian
yang keseluruhannya hanya menjadi ranah kepentingan pribadi lalu membiarkan
urusan politik dan pemerintahan yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas
tanpa bimbingan dan arahan ketuhanan? Padahal Islam datang untuk menyelamatkan
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Dari berbagai pengertian di atas,
dipahami bahwa cakupan aktifitas politik itu luas. Peran serta shahabat dan
shahabiyat Nabi dalam kancah politik tidak bisa dinafikan. Aktifitas Nabi SAW
semenjak di Makkah hingga di Madinah dengan demikian adalah tindakan bermuatan
politis sebagaimana diungkapkan dalam perspektif Al-Banna bahwa politik adalah
“hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal ummat”. Tidak ada
hal lain yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kecuali memikirkan ummat dari
berbagai sisi baik internal maupun eksternal. Rasulullah SAW bersabda:
barangsiapa yang tidak memperhatikan persoalan kaum muslimin maka ia tidak
masuk ke dalam kelompok mereka. Barangsiapa tidak memberikan nasehat karena
Allah dan Rasul-Nya kepada para pemimpin dan masyarakat kaum muslimin maka ia
tidak masuk ke dalam kelompok mereka. Siapapun bila ada orang yang tidur di
halaman rumahnya dalam keadaan kelaparan maka ia terbebas dari tanggungan Allah
dan Rasul-Nya (HR. Thabrani dari Huzaifah r.a).
Akan tetapi, dengan
demikian yang menjadi pertanyaan adalah adakah praktik politik Islam di
Indonesia ini yang masih menjaga kemurnian asas Islamnya? Ataukah hanya dengan
dalil itulah mereka menghalalkan segala cara? Inilah yang masih menjadi PR
untuk kita semua yang mengaku aktivis politis pejuang Islam.
0 komentar:
Posting Komentar