Yogyakarta—
Hampir 100% penduduk Kuwait beragama Islam, namun suasana lebaran di Kuwait
tidak semeriah dan sesemarak di Indonesia. Kuwait adalah negara kecil yang
hanya mempunyai penduduk sekitar 700 ribu jiwa. Sedangkan Indonesia adalah
negara yang cukup besar. jumlah penduduknya 250 juta jiwa. 85 % beragama
Islam, dan 15 % beragama selain Islam. Kendati demikian, populasi umat Islam
di Indonesia justru terbesar di dunia.
Di Kuwait, yang warga negara asing atau pendatangnya
mencapai dua kali lipat jumlahnya, yakni sekitar 1,4 juta jiwa itu suasana
menjelang Ramadhan biasa-biasa saja. Apalagi masjid-masjid di Kuwait juga kalah
besar dengan masjid-masjid di Indonesia. Di Kuwait tidak ada masjid yang
sebesar dan semegah Masjid Istiqal di Jakarta. Akan tetapi kalau mall atau
pusat-pusat perbelanjaan, di sana besar-besar dan megah. Begitulah yang dikisahkan
oleh Mantan Duta Besar RI untuk Kuwait merangkap Kerajaan Bahrain PROF DR Faisal Ismail, MA, saat diwawancarai
TeRAS Senin (25/7) di lantai dua Gedung Rektorat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selain itu, perbedaan yang mencolok juga terlihat dari
kebijakan pemerintah Kuwait yang secara ketat menetapkan ketentuan-ketentuan
hukum berkaitan dengan pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan. Pria kelahiran
Sumenep, Madura, 14 Mei 1947 yang juga menjabat sebagai Guru Besar di fakultas
Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan
bahwa, “Ada peraturan pemerintah yang melarang orang makan dan minum di
sembarang tempat ketika saat ibadah puasa sedang berlangsung. Bila ketahuan
makan dan minum, maka orang tersebut akan ditangkap dan diberi sanksi. Tapi
setahu saya, sanksi yang diberikan masih tetap bersifat edukatif.”
Karena seratus persen warganegaranya beragama Islam,
maka restoran-restoran atau rumah-rumah makan dilarang buka pada siang hari.
Namun bagi yang non-muslim, tetap disediakan restoran atau rumah makan yang
khusus melayani keperluan mereka pada siang hari. Restoran itu tidak dibuka
secara mencolok. Dan, pengawasannya pun sangat ketat. Artinya, restoran itu
dilarang melayani yang muslim. Kalau ketahuan ada sanksinya. Mereka yang
non-muslim di Kuwait adalah para pekerja asing.
Suasana malam-malam Lailatul Qadar, atau malam-malam
mulai tanggal 21 Ramadhan di negara kawasan timur tengah itu juga nampak
berbeda. Di Indonesia terutama di Jawa termasuk Yogyakarta, malam 21 Ramadhan
juga disambut dengan sebutan malam selikuran. Mulai malam selikur sampai malam
terakhir Ramadhan, banyak yang meningkatkan ibadah di masjid dengan harapan
akan mendapatkan Lailatul Qadar. Masjid-masjid akan dipenuhi orang-orang yang
beribadah malam sampai pagi.
Tetapi menurut pria yang pernah mengalami tiga kali
lebaran selama menjabat sebagai Duta Besar sepanjang September 2006 hingga Juni
2010 itu, di Kuwait jauh lebih spesifik dan istimewa lagi. Suasana kekhusukan
Ramadhan di Kuwait baru terasa sekali setelah tanggal 21 Ramadhan.
Pemerintah Kuwait juga memberikan perhatian yang
khusus, dengan memberikan instruksi kepada rakyatnya untuk menyemarakkan
suasana malam-malam Lailatul Qadar tersebut. Pemerintah membuat edaran yang
disebarkan ke seluruh penjuru negeri. Bahkan Kedubes-kedubes negara Islam
lainnya yang ada di Kuwait juga diberi edaran untuk ikut berpartisipasi
menyemarakkannya. Setelah tanggal 21 Ramadhan itu, masjid-masjid sepanjang
malam dipenuhi jemaah yang bertadarus dan berzikir.
Perhatian rakyat Kuwait terhadap pelaksanaan zakat di
bulan Ramadhan juga sangat luar biasa. Karena penduduknya dalam keadaan makmur
atau hidup berkecukupan, maka perhatian mereka terhadap berzakat atau
bersedekah sangat tinggi. Di bulan Ramadhan, semangat dan aktivitas orang-orang
Kuwait dalam berzakat atau bersedekah cukup menakjubkan. Mereka tidak ragu-ragu
mengeluarkan zakat maupun bersedekah dalam jumlah besar kepada orang-orang yang
dipandang memang pantas menerimanya.
Para TKI atau TKW Indonesia yang berada di sana banyak
yang menikmati kedermawanan orang Kuwait di bulan Ramadhan tersebut. Tidak
sedikit pula sedekah yang diterima para TKI atau TKW berupa tiket pulang-pergi
ke Tanah Air. Para TKI atau TKW bermasalah yang ditampung di KBRI, juga ikut
menikmati zakat dan sedekah itu. Bahkan, kedermawanan orang Kuwait dalam soal
berzakat dan bersedekah tidak hanya dilakukan di dalam negerinya sendiri,
tetapi juga sampai lintas negara. Orang Kuwait banyak yang mengirimkan zakat
dan sedekahnya ke negara-negara muslim yang miskin di antaranya seperti
Bangladesh.
Suasana Lebaran atau Idul Fitri di Kuwait dengan di
Indonesia juga sangat jauh berbeda. Di Indonesia, suasana Idul Fitri terasa
begitu semarak dan meriah. Di malam Lebaran saja kemeriahan sudah terlihat.
Kemudian di hari lebarannya, sehabis sholat Idul Fitri, diramaikan dengan acara
silaturahmi atau saling kunjung-mengunjungi antara satu sama lain, untuk
bermaaf-maafan. Di rumah-rumah warga terdapat kesibukan menyiapkan beragam
makanan dan minuman untuk menyambut para tamu. Para pemimpin atau pejabat, dari
tingkat nasional atau pusat, provinsi sampai kabupaten dan kota membuka acara
yang disebut Open House. Memberi kesempatan kepada warganya untuk datang
bersilaturahim. Misalnya, Presiden membuka open house, Gubernur dan juga Bupati
serta Walikota melakukan hal yang sama. Pendek kata, Lebaran di negeri kita
benar-benar meriah.
Berbeda dengan di Kuwait. Di sana pada saat Idul
Fitri, sehabis sholat Ied, warga akan pulang ke rumahnya masing-masing, atau
sibuk berlibur dengan anggota keluarganya. Di sana tidak ada tradisi
silaturahim atau kunjung-mengunjungi antara satu sama lain di saat Lebaran itu.
Tidak ada pejabat atau pemimpin yang membuka acara open house. Akan tetapi
berbeda dengan Idul Adha. Di Kuwait, seperti negara-negara Timur Tengah
lainnya, suasana Idul Adha jauh lebih meriah dan semarak dibanding Idul Fitri.
Pria yang sebelum menjadi Dubes sempat menjabat Sekjen
Departemen Agama RI itu juga menambahkan, “Salah satu nilai positif yang nyata
adalah meningkatnya semangat kedermawanan warga Kuwait di bulan Ramadhan. Bulan
Ramadhan benar-benar mereka yakini sebagai bulan untuk beribadah dan beramal.
Karena itu selain beribadah, mereka melipatgandakan sedekah atau menaikkan
sikap kedermawanan mereka untuk memberi atau membantu kepada sesama”.
“Sifat kedermawanan masyarakatnya yang sangat tinggi
itu tentunya pantas dicontoh oleh masyarakat di Indonesia, terutama mereka yang
tergolong mampu atau berkecukupan. Apalagi di negeri kita ini masih banyak
sekali masyarakat yang hidup serba kekurangan, hidup di bawah garis kemiskinan
dan terkebelakang. Andai itu terjadi di masyarakat kita, maka di bulan Ramadhan
akan banyak sekali masyarakat yang kurang mampu ikut merasakan kebahagiaan dan
kegembiraan saat Lebaran tiba”.
0 komentar:
Posting Komentar