Penurunan
angka pengangguran belum signifikan meskipun Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan dan mencapai 6.5
persen di tahun 2012. Memang harus diakui, upaya pemerintah menekan prosentase
pengangguran ada, salah satunya dengan diresmikanya Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam
buku berjudul Isu-isu Pendidikan terbitan
Depdiknas RI tahun 2007 yang ditulis oleh Ayu N. Andini, disebutkan bahwa
pemerintah mencanangkan tahun 2015 perbandingan jumlah SMK dan SMA akan
mencapai 70 persen banding 30 persen. Sedangkan di tahun 2013 ini perbandingan
tersebut telah mencapai 41 persen untuk SMK banding 51 persen untuk SMA.
Program
tersebut memang dinilai berhasil. Dalam akun tweeter @UN2013SMA disebutkan
bahwa, Di tahun 2013 jumlah siswa SMA di Indonesia sebanyak 1.421.930 dan SMK sebanyak
670.324. Artinya, pemerintah berhasil mengarahkan sekitar 32.03 persen lulusan
SMP untuk melanjutkan studi menengah atasnya pada SMK.
Mengapa Pilih SMK..?
Di
balik keberhasilan pemerintah mencanangkan program tersebut nampaknya secara
kualitas perlu dipertanyakan. Faktanya, titik fokus tujuan yang diarahkan
hingga kini masih terlihat suram, dan belum ada kejelasan. Sehingga berbagai
fakta persoalan pun muncul.
Pertama,
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2012 angka pengangguran tertinggi
masih diduduki lulusan SMK dengan nilai prosentase 9,87 persen dibandingkan dengan SMA yang hanya 9,6 persen.
Selisih angka tersebut boleh dibilang sedikit, namun perlu diingat bahwa angka
tersebut dalam hitungan prosentase. Artinya jika dikalikan dengan kuantitasnya,
selisih tersebut tetap saja tinggi.
Kedua,
hingga saat ini persaingan dalam dunia kerja sangatlah ketat. Apalagi mayoritas
perusahaan merekrut karyawan lulusan D3 dan S1. Kalaupun ada perusahaan yang
berpihak pada SMK, hal itu tidak didukung dengan status jabatan serta gaji yang
tinggi.
Ketiga,
tingkat kesejahteraan lulusan SMK relative kecil dibandingkan dengan lulusan
SMA. Faktanya peluang lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi relative lebih
tinggi. Toh dalam dunia kerja siswa SMA masih dapat mengambil peluang. Hal ini
tentunya semakin mempersempit peluang lulusan SMK.
Hanya UN, bukan SNMPTN
Rincian
fakta di atas sesungguhnya mempunyai jawaban sederhana. Keberpihakan pemerintah
dan Perguruan Tinggi harus ditinjau kembali. Logikanya, jika soal Ujian
Nasional (UN) saja dibedakan antara SMK dan SMA mengapa tidak demikian dengan
soal Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)? Padahal jelas kurikulum
SMK lebih terforsir untuk praktik kejuruan. Berbeda dengan SMA yang semua
kurikulum mengacu kepada teori. Hal itu nampaknya yang menjadi kegalauan siswa
SMK. Jika hanya Ujian Nasional, saya yakin siswa SMK jauh lebih mampu menguasai
soal. Namun bagaimana dengan SNMPTN?
Solusi
Peninjauan
ulang terhadap kebijakan yang telah ditetapkan harus dilakukan. Penetapan
tujuan harus diperjelas. Mau dibawa kemana nasib anak-anak SMK. Jika memang SMK
diarahkan dalam dunia kerja, jaminan kesejahteraan harus terus diperjuangkan.
Selain itu, berilah peluang kesempatan kepada SMK agar mampu bersaing dalam
seleksi SNMPTN.
Jika
mau kritis, sebenarnya pemerintah mampu melihat peluang bahwa SMK lebih tepat
diarahkan kepada dunia Wirausaha. Hingga saat ini, jumlah wirausaha di
Indonesia masih kurang dari 2 persen. Angka tersebut masih jauh dibandingkan
dengan Negara tetangga yaitu Malaysia, Thailan, dan Singapura yang sudah
mencapai angka di atas 4 persen. Untuk merealisasikanya, mungkin pemerintah
harus mengkaji ulang kurikulum dengan lebih mengalokasikan proses pembelajaran
berbasis Wirausaha.
Oleh: Muhammad Irfan
Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar