BAB I
PENDAHULUAN
Apabila dikaji secara mendalam tentang
aliran-aliran dalam Islam, maka akan ditemukan aliran Syi’ah. (Aliran ini
timbul akibat gejolak politik antar Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah ibn Abu
Sufyan. Dalam Syi’ah terdapat sekte Imamiyah ) yang menjadi embrio timbulnya
sekte Ithna Ashar (dan sekte Imam Sab’ah
) atau yang lebih dikenal dengan sekte Isma’iliyah). Sekte Isma’iliyah
mempunyai beberapa aliran), salah satunya adalah aliran Fatimiya).
Dalam perkembangan sejarahnya, aliran
Syi’ah selalu menjadi golongan marginal, baik pada masa daulah Umaiyah maupun
daulah Abasiyah, walaupun tatkala Daulah Abasiyah berjuang dan berhasil
mengambil alih kekuasaan dari bani Umayyah mempunyai andil besar. Baru pada
tahun 172 Hijriyah/ 789 Masehi berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh
Muhammad ibn Abdullah di Maroko. Dinasti Idrisiyah berkuasa sampai tahun 314
Hijriyah/ 926 Masehi).
Kondisi marginalistik ini membangkitkan
aliran Syi’ah dari sekte Isma’iliyah. Gerakan Isma’iliyah ini dipelopori oleh
Abdullah ibn Isma’il bersifat gerakan bawah tanah (rahasia). Hal ini disebabkan
antara lain sikap Khalifah Harun Al-Rashid yang ingin menangkapnya karena
dituduh ingin merebut kekuasaannya. ) Konon, setelah menerima kabar akan
penangkapan dirinya, Abdullah meloloskan dirinya dari Madinah ke kota Rayy
dalam wilayah Iran Utara. Dari sinilah Abdullah mulai melancarkan gerakan bawah
tanah yang terkenal dengan gerakan Isma’iliyah. Gerakan ini dimulai dengan
kegiatan dakwah (propaganda). Doktrin yang didakwahkan antara lain bahwa
Abdullah yang berhak menduduki Al-Mahdi (juru selamat manusia), menebalkan
seorang khalifah (imam) untuk gerakan itu, menuntut berlangsungnya suatu
revolusi social, membangun suatu system filasafat yang berdasarkan sebuah agama
baru). Penyebaran doktrin ini dilaksanakan oleh paragon (da’i) dengan jaringan
yang teroganisir secara rapi, sehingga gerakan Isma’iliyah ini merasa aman dan
dirasakan cukup efektif, yang pada waktu singkat (sekitar 6 tahun) sudah
meliputi Yaman, Bahrain, Sind, India, Mesir,dan Afrika utara).
Sebenarnya sasaran dakwah gerakan Isma’iliyah itu masih
termasuk dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah, yang ketika itu posisi khalifah
tidak hanya sebagai simbol dan daerah-daerah itu jauh dari pusat kekuasaan.
Hal-hal yang demikian ini dimanfaatkan oleh Abdullah segera mendapat dukungan
di kalangan masyarakat luas, termasuk para pembesar kerajaan tidak kurang dari
sepuluh orang sudah menganut faham Syi’ah. Pada saat itu Afrika Utara dikuasai
oleh Dinasti Aqhlabiyah. Pada tahun 296 Hijriyah/ 909 Masehi Dinasti Aqhlabiyah
diperintah oleh Emir Abu Mudhari Ziadatullah yang bersifat glamour dan
berfoya-foya. Sifatnya itu sangat tidak disukai rakyatnya, sehingga kesempatan
ini dipergunakan oleh Abdullah untuk menyerangnya. Dalam
serangan ini Emir merasa terdesak dan melarikan diri ke pulau Sicilia. Dengan
dikuasainya Afrika Utara ini kemudian diumumkan terbentuknya Dinasti Fatimiyah
dan Abdullah sebagai Emirnya dengan gelar Abdullah A-Mahdi).
Setelah
menjadi Emir, Abdullah Al-Mahdi mengadakan reformasi ke dalam, yaitu merubah
sistem perpajakan yang sangat memberatkan dan meresahkan orang Barbar. Hal ini
dilakukan karena andil orang Barbar sangat besar. Reformasi ke luar adalah
memperkuat angkatan laut untuk mengembangkan ekspedisi militer, seperti Genao,
Sicilia dan Mesir. ) Berkat angkatan laut yang kuat daerah per daerah dapat
ditaklukkan, termasuk Mesir. Dalam makalah ini akan dibahas tentang
terbentuknya Dinasti Fatimiyah, perkembangan, kemajuan dan kehancurannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH KEMUNCULAN
Dinasti Fathimiyah merupakan dinasti bermadzhab
syi’ah yang berdiri pada tahun 910 Masehi yang berpusat di Tunisia Mesir, yang
kemudian dipindahkan ke Kairo pada tahun 971 Masehi. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Mahdi merupakan cucu Isma’il ibn Ja’far al-Shidiq (Imam Syi’ah
ke-7).
Setelah kematian Imam Ja’far al-Shadiq, Syi’ah
terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai Imam
ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedangkan cabang kedua meyakini bahwa Isma’il
ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh.
Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan Syi’ah
Isma’iliyah, yang oleh Abdullah ibn Maymun dibentuk sebagai sebuah system
gerakan politik keagamaan.
Pada tahun 874 M Abdullah ibn Maymun menunjuk Abu
Abdullah al-Husayn untuk menggantikan kepemimpinanya setelah Ia wafat. Abu
Abdullah al-Husayn berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara.Setelah
berhasil menegakkan pengaruhnya, Abu Abdullah al-Husayn menulis surat kepada
Imam Isma’iliyah yakni Sa’id Ibn Husayn al-Salamiyah agar menggantikan
kepemimpinanya. Sa’id menyetujui permintaan tersebut dan memplokamirkan dirinya
sebagai putra Muhammad al-Habib, seorang cucu Imam Isma’il.
Setelah berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, Ia
memplokamirkan dirinya sebagai pimpinan tertingi gerakan Isma’iliyah.
Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti
Aghlabi pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi yang terakhir
yaitu Ziyadatullah. Sa’id kemudian memplokamirkan diri sebagai imam dengan
gelar “Ubaydullah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti
Fathimiyah di Afrika Utara dengan al-mahdi sebagai khalifah pertamanya.
B. POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Fathimiyyah adalah
Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir
tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut adalah:
1.
‘Ubaidillah al Mahdi (297-322 H/909 M)
2.
Al–Qa’im (323-335 H/934-949 M)
3.
Al–Manshur (339-343 H/949-953 M)
4.
Al–Mu’izz (355-365 H/965-975 M)
5.
Al–‘Aziz (365-386 H/975-996 M)
6.
Al–Hakim (386-412 H/996-1021 M)
7.
Azh–Zhahir (412-426 H/1021-1036 M)
8.
Al–Musthansir (427-487 H/1036-1095 M)
9.
Al Musta’li (487-495 H/1095-1101 M)
10. Al–Amir (491-521 H/1101-1131 M)
11. Al–Hafizh (521-539 H/1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir (539-544 H/1149-1154 M)
13. Al–Faiz (544-550 H/1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid (550-561 H/1160–1171 M)
Pada tahun 1094 M,
setelah al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan ma’iliyah, yaitu
kelompok Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang lebih moderat. Dia
mempertahankan kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah.
Berdirinya Dinasti ini
bermula menjelang abad ke-X, ketika kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad mulai
melemah dan wilayah kekuasaannya yang luas tidak terkordinir lagi. Kondisi
seperti inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya Dinasti-Dinasti kecil
di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya memiliki
tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari
kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan
bagi kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan
politik.
Dinasti Fathimiyah
bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen, melainkan juga merupakan
sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal. Mereka
mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan Ali
yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau
mengenai siklus eskatologis sejarah.
Dinasti Fathimiyah
berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya. Dinasti ini
mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro. Kelompok Syi’ah
berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M), bukannya Musa
saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah mereka
(imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan politik
keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir
pertama kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan
kebanyakan kaum sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari
Ubaidillah al- Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah)
dan berasal dari Yahudi.
Gerakan Syi’ah
Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi doktrin mesianik dan
sentralistik. Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka, tetapi
Isma’il tidak berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum
ayahnya (Imam Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin
Ismaili, dengan dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa
bersaudara. Ini berangkat dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah
dan Ali, ketika ia melahirkan Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan
Syi’ah Fatimiyah merupakan saudara sesusuan.
Keberhasilan
menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu memberi perlindungan
imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan pengorganisasian
dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini, namun baru
pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru mulai
berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah
berhaknya anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini
menggunakan sistem jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat
efektif dan terorganisir secara rapi.
Ubaidillah yang
memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara, dimana propaganda
Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya dengan memenangkan
dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh Kholifah
Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab
al-Kufy, Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman,
ia dapat menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara,
belahan timur antara Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah
asy-Syi’i. Yang mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari keturunan
Nabi. Para da’i tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai
pendukung kepemimpinan Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar
inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti
Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru menggantikan ayahnya, datang ke Tunis
untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena tidak menguasai
daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan pada da’i, seperti
asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak memberikan
harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang memenuhi
program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang
dicurigai, termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas
kekuasaannya, yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia
mengadakan ekspedisi wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir.
Keberhasilan
pemerintahan Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat pemerintahan ke
Kairo. Hampir seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai Fatimi,
terutama setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli
(969 M) dan menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga
mulai membangun ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid
al-Azhar sebagai pusat pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu
kota baru tahun (973 M). Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam
berbagai aspek kehidupan, karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu
membangkitkan berbagai macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan),
perdagangan, keagamaan, walaupun peralihan kekuasaan ke wilayah timur,
berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka dibagian Barat. Terbukti, wakil
mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat dengan pemerintahan
Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan
al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kekuasaannya
setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah. Para Khalifah
Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian bersatu
karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan Anatholia
pada abad II.
Tetapi pada akhir abad
11 terjadi aksi Salib I yang mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para
Khalifah Fatimiyah, pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti
Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The
Crusaders II). Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah
mulai terpecah-belah. Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya
(Gubernur) memegang kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti
Fatimiyah di akhiri oleh serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap
sebagai pengganti Syirkuh yang menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan
Nuruddin putra Zangi dari Dinasti Ayyubiyah. Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir.
C. KEMAJUAN-KEMAJUAN YANG DICAPAI
Selama kurun waktu 262
tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz,
Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, yaitu :
a.
Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam,
termasuk India dan negeri-negeri Mediteramia yang KRISTEN.
b.
Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi
dan arsitektur istana.
c.
Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas
Al–Azhar.
d.
Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun
industry.
e.
Di bidang keamanan.
D. FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN
Sesudah berakhirnya
masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun. Kalaupun
pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah
seperti apa yang telah dicapai oleh al-Aziz.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran
Dinasti Fathimiyah adalah :
a.
Para penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang
mewah.
b.
Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang
mayoritas Sunni
c.
Kondisi al-‘Adhid
(dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam kondisi khilafah
yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan diantara pejabat dan
militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur
al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula ia
berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah
al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi
untuk menguasai Mesir.
Dengan dikalahkannya
tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah riwayat Dinasti
Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.
E. PENINGGALAN BERSEJARAH
Di antara
peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah dan
keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan
pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a. Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid
sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17
Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri
Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
b. Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang
terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan sejarah dinasti
Fathimiyah iniantara lain:
1.
Dinasti
Fathimiyah berdiri pada tahun 910 M, yang berpusat di Tunisia (ibukota Mahdia),
Mesir 971 M (kemudian ibukaota dipindah ke Kairo).
Dinasti ini
didirikan oleh Abdullah Al-Mahdi sebagai dinasti yang bermadzhab Syi’ah.
2.
Dinasti
Fathimiyah berhasil menyebarkan pengaruhnya di Afrika Utara, Sisilia, Pesisir
Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Zaman, dan Hijaz
3.
Selama
kekuasaan Dinasti Fathimiyah ini telah terjadi pergantian pemimpin selama 14
kali.
4.
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai
kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim.
Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang.
5.
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti
Fatimiyyah mulai menurun. Dan berakhir pada tahun 1171 M.
6.
Ada dua peninggalan bersejarah yang saat ini masih ada yaitu
Universitas Al-Ahzar dan Dar al-Hikmah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ali, K. 1997. Sejarah Islam Dari Awal Hingga Runtuhnya
Dinasti Usmani (Tarikh Pramodern). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2.
Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Yogyakarta: Kota Kembang.
0 komentar:
Posting Komentar